Wednesday 10 December 2008

IN-AND-OUT

Saya copy and paste-kan dua buah cerita pertobatan: yang pertama dari seorang bapak yang terlahir dari keluarga Katolik dan memutuskan menjadi seorang mualaf... dan yang kedua dari seorang bapak yang terlahir dari keluarga muslim dan memutuskan menjadi seorang pengikut Yesus Kristus dalam Gereja Katolik. Kita tidak akan mengadili mereka... kita akan belajar dari proses mereka mengambil keputusan... Pada akhirnya kita akan bertanya kepada diri kita sendiri... apakah kita sudah layak disebut anak-anak Allah dan pengikut Yesus Kristus yang setia...
Kedua tulisan ini saya dapatkan dari blog-blog lain dan saya tampilkan hampir tanpa proses editing... supaya tidak saya bumbui dengan kata-kata yang "nggegirisi"... frightening words... Selamat membaca...
(Thomas A. Sutadi)
Ibu Mengancam Bunuh Diri
KotaSantri.com :
BilikRubrik : Mualaf
Publikasi : 13-11-2005 @ 18:06
Nama saya Yohanes Paulus. Saya lahir di Yogyakarta. Tepatnya pada 26 September 1944. Saya berasal dari keluarga yang beragama Kristen Katolik. Keluarga saya sangat dikenal sebagai penganut Kristen yang taat dan fanatik. Ayah saya, Laksamana Pertama (Purn.) R.M.B. Suparto dan ibu saya, Maria Agustine Kamtinah.
Latar belakang pendidikan saya adalah pendidikan yang berbasis agama Kristen Katolik, baik itu pendidikan formal maupun pendidikan di lingkungan keluarga. Sejak kecil saya sudah dididik menjadi penganut agama yang fanatik. Oleh orang tua, saya disekolahkan di sekolah Kristen. Mereka memasukkan saya ke Taman Kanak-kanak Santa Maria Yogya. Kemudian dilanjutkan pada Sekolah Dasar Kanisius Yogya. Lalu dimasukkan ke sekolah menengah pertama hingga menengah atas di sekolah Kanisius Jakarta.
Untuk lebih memantapkan agama dalam diri saya, pada umur 12 tahun saya dipermandikan atau dibaptis. Oleh gereja, saya diberi nama Yohanes. Pada umur 17 tahun, saya pun mendapat nama tambahan lagi yakni Paulus. Nama itu diberikan setelah saya mengikuti upacara sakramen penguatan yang dilakukan oleh pihak gereja. Jadi, sekarang nama Kristen saya adalah Yohanes Paulus. Nama ini menggantikan nama pemberian orang tua saya, yaitu Bambang Sukamto.
Karena latar belakang pendidikan dan pergaulan selalu dalam lingkaran agama Kristen Katolik, maka sejak kecil saya selalu diberi pandangan bahwa agama Islam itu agama yang sesat. Orang-orang Islam itu adalah domba-domba yang perlu diselamatkan. Setiap kali mendengar suara mereka mengaji, selalu saya anggap mereka sedang memanggil setan. Begitu pun setiap saya melihat mereka shalat, saya beranggapan mereka sedang menyembah iblis. Perasaan anti Islam terasa begitu kuat dalam diri saya, sehingga saya berniat untuk menyerang teman-teman yang beragama Islam. Kepada mereka, saya selalu mempromosikan bahwa agama sayalah yang paling benar.
Setelah lulus sekolah lanjutan atas, saya melanjutkan studi ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Di lingkungan kampus ini saya kembali bergabung dalam kelompok aktivis gereja. Dalam kelompok ini saya juga bergabung dalam sebuah kelompok yang sangat militan. Dalam kelompok militan ini saya berjuang sebagai prajurit Perang Salib yang bertujuan menghadapi syiar agama Islam di Indonesia. Setelah bergabung dalam kelompok ini, saya semakin yakin bahwa umat Islam yang mayoritas ini merupakan domba-domba yang harus diselamatkan. Saya akan menyelamatkan dan mengajak mereka untuk ikut dalam ajaran Yesus Kristus, khususnya masuk dalam agama Kristen Katolik.
Dalam studi kedokteran ini, saya juga bergabung dalam sebuah kelompok studi. Kelompok ini beranggotakan empat orang mahasiswa. Tiga orang teman saya beragama Islam, sedangkan yang Kristen cuma saya. Kami selalu belajar bersama di rumah saya. Bila tiba waktu shalat, mereka pamit sebentar untuk shalat berjamaah. Usai shalat, mereka saya ajak untuk berdiskusi mengenai masalah agama. Dalam diskusi itu, saya mulai menyerang mereka. Saya selalu mendiskreditkan agama mereka. Misalnya, mengapa shalat itu harus menghadap kiblat dan harus berbahasa Arab dalam membacanya. Saya katakan pada mereka, kalau begitu Tuhan kalian tidak sempurna, karena hanya ada di Arab. Setelah itu, saya membandingkan dengan Tuhan agama saya yang ada di mana-mana.
Mendapat serangan itu, teman-teman saya tenang saja. Mereka menjawab bahwa di mana pun berada, orang Islam dapat shalat berjamaah dan selalu sama bahasanya dalam beribadah. Ini menunjukkan bahwa agama Islam itu agama yang benar dan universal (untuk semua manusia). Mereka malah balik bertanya, mengapa orang Kristen itu kalau bangun gereja tidak satu arah? Malah terkesan berantakan ke segala arah? Itu, kata mereka, menunjukkan bahwa Tuhan saya akan bingung ke mana harus berpaling. Mereka juga mengatakan, bahasa agama saya itu tidak sama, bergantung wilayah. Jadi, kesimpulannya, mereka mengatakan bahwa agama saya itu hanya agama lokal. Saya kaget dan tersentak mendengar jawaban itu. Ternyata mereka pandai-pandai, tidak seperti dugaan saya selama ini.
Saat duduk di tingkat IV FKUI, saya menjalin hubungan dengan gadis muslimah. Gadis itu ingin serius kalau saya sudah beragama Islam. Tawaran ini tidak saya penuhi, karena sikap anti-Islam saya kala itu sangat kuat. Akhirnya kami putus. Sikap keras gadis ini membuat saya penasaran. Mengapa gadis itu tidak goyah keyakinannya? Rasa penasaran ini mendorong saya untuk banyak membaca dan mempelajari Islam. Saya coba melahap buku-buku Islam, seperti Akidah dan Tauhid Islam, Api Islam, Soal Jawab tentang Islam, dan Islam Jalan Lurus. Untuk hal yang tidak jelas, saya sering bertanya kepada teman teman. Saya juga sering menghadiri kuliah dan diskusi agama Islam. Dari sinilah, tanpa saya sadari, muncul ketertarikan terhadap Islam. Saya begitu kagum dan hormat kepada pribadi Nabi Muhammad SAW yang telah membawa dan memperjuangkan agama agung dan mulia ini. Dari sini pula, saya dapat memperoleh jawaban dari berbagai persoalan yang selama ini menjadi ganjalan dalam agama saya. Saya mulai percaya, Islam adalah agama yang rasional, mengajarkan disiplin, bersifat sosial, dan menjunjung tinggi kesusilaan. Pengalaman seperti ini membuat keimanan saya goyah. Saya sering lupa pergi ke gereja. Saya sering terbangun jika mendengar adzan shubuh. Saya sering mendengar suara yang memanggil untuk beriman secara benar. Dalam hati, saya ingin meniatkan untuk masuk agama Islam. Tapi, saya belum berani mengutarakannya kepada keluarga dan teman-teman seagama.
Tahun 1971, keinginan untuk masuk Islam semakin kuat. Teman-teman kuliah dulu mendukung keinginan itu. Akhirnya pada bulan Ramadhan tahun itu juga, saya berikrar menjadi seorang muslim. Di bawah bimbingan cendekiawan muslim Doktor Nurcholish Madjid, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat di rumah Bapak Syaaf di Kramat Kwitang.
Rasa haru dan gembira pada saat itu tidak terlupakan. Teman-teman menyambut baik keislaman saya itu. Saya merasakan betapa sejuk dan nikmatnya persaudaraan Islam ini. Nama baptis dan sakremen, Yohanes Paulus, segera saya ganti dengan nama pemberian orang tua saya semula, yakni Bambang Sukamto.
Keislaman saya ini mendapat tantangan dari keluarga dan teman-teman gereja. Mereka menyindir, mencela, dan bahkan menuduh saya sesat. Mereka juga berusaha untuk menarik saya kembali ke agama lama. Yang paling berat adalah tantangan dari ibu kandung saya. Saya dimarahi dan dicaci maki habis-habisan, karena dianggap telah berkhianat. Ibu juga mengancam akan bunuh diri jika saya tidak kembali ke agama Kristen. Tantangan ini saya hadapi dengan sabar dan tabah. Lama-kelamaan tantangan ibu saya itu reda juga.
Akhirnya, saya dapat menjalankan ibadah ini dengan baik dan tenang. Saya banyak belajar tentang Islam. Alhamdulillah, pada tahun 1991, saya bersama istri dapat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Dan untuk membantu para mualaf dalam mempelajari Islam, saya bersama teman-teman mendirikan sebuah pengajian/majelis taklim Al-Mantiq.
[mualaf.com]Bilik @ KotaSantri.com
KONTROVERSI PERTOBATAN MAGDI ALAM
Sebuah Ziara Pribadi dan Bukan Keputusan Politik
Paskah tahun 2008 mungkin saja cukup mengagetkan Paus Benediktus XVI. Di malam paskah, seorang tokoh Muslim Italia yang sudah mempersiapkan diri selama setahun untuk menjadi Katolik akhirnya dibaptis Sri Paus. Dialah Magdi Alam, 56 tahun, dibaptis tanggal 22 April 2008 di Basilika Santo Petrus Roma, di bawah sorotan kamera televisi dan disiarkan ke banyak Negara.
Dalam konteks dialog dan hubungan antara agama Katolik dan Muslim, pertobatan ini bisa saja disalahmengerti. Tetapi Magdi Alam sendiri mengakui kepada media, bahwa mereka yang memprotes dan mengkritik tindakannya tidak mengerti mengapa dia bertobat dan memeluk iman Katolik. Pertobatannya sama sekali bukanlah suatu manuver politik sebagaimana dituduhkan orang padanya.
Magdi Alam dilahirkan di Kairo, Mesir. Sewaktu kecil dia memang bersekolah di sekolah-sekolah Katolik. Menurut pengakuannya, dia sebenarnya sudah tertarik pada iman Katolik sejak dia berusia 4 tahun. Meskipun para biarawati yang mengelola sekolah tempat Magdi menuntut ilmu tidak bermaksud menobatkan dia, pendidikan dan pembinaan yang dijalankan para suster Salesian dan Comboni sangat membantu dia “menjadi sadar akan realitas agama, memberikan kesempatan bagi dirinya untuk mengambil bagian dalam kehidupan para religius Katolik dan tokoh-tokoh awam, membaca Alkitab dan Injil, dan menghadiri perayaan Ekaristi.”
Magdi Alam pindah ke Itali tahun 1972, pada usia 20 tahun, dan tinggal di sana sampai sekarang. Belakangan ini, menurut pengakuannya, “dua pengalaman mempercepat langkah saya untuk bertobat menjadi Katolik.”
“Pengalaman pertama adalah lima tahun lalu ketika saya menemukan diri berada dalam perlindungan tentara kaum bersenjata karena ancaman dari para ekstrimis dan teroris Muslim,” demikian pengakuan Magdi Allam. “Situasi ini memaksa saya untuk berefleksi tidak hanya pada realitas ekstremis Islam, tetapi juga pada Islam sebagai agama.”
Pengalaman kedua adalah kesempatan untuk bertemu dengan umat Katolik biasa—dan satu orang yang sangat spesial, yang Paus Benediktus XVI sendiri. “Saya bangga menjadi salah satu dari sedikit orang Muslim di Italia yang bekerja di sebuah surat kabar nasional yang berdiri teguh membela Sri Paus setelah pidatonya di Regensburg tanggal 12 September 2006,” demikian Magdi Allam. “Saya tidak hanya membela Paus dari segi kebebasan berpendapat, saya juga membela isi dari yang dikatakannya, karena percaya bahwa apa yang dikatakannya berkorespondensi dengan kebenaran dan level ilmiah.”
Paus dalam pidatonya memberi tekanan pada pentingnya nalar dan menentang kekerasan dalam agama. Magdi Allam mengakui bahwa rencananya untuk dibaptis Paus muncul sekitar satu tahun yang lalu ketika dia memulai kursus persiapan bersama Uskup Rino Fisichella, Rektor Universitas Pontifikal Lateran, Roma.
Aref Nayed adalah juru bicara bagi 138 ilmuwan Muslim yang menginisiatifi proyek dialog Common Word di bulan Oktober dan yang mendirikan Forum Katolik-Muslim untuk dialog dengan Vatican di awal bulan Maret.
Nayed menanyakan secara terbuka kepada Paus Benediktus XVI mengapa dia memutuskan untuk membaptis Magdi Allam. “Menyedihkan bahwa tindakan yang intim dan pribadi dari sebuah pertobatan religius dilakukan dalam cara yang megah dan meriah hanya untuk mencatat skor,” kata Nayed. “Adalah menyedihkan bahwa orang yang khusus dipilih untuk pengormatan publik ini memiliki sejarah melahirkan dan terus melahirkan diskursus yang penuh kebencian.”

Magdi Allam mengatakan bahwa hal ini tidaklah benar. “Saya tidak menyangka bahwa hal ini bisa mungkin. Saya tidak pernah memikirkannya barang semenitpun ketika saya memutuskan menjadi Katolik ketika hal-hal yang baik dapat terjadi.”

Bagi Magdi Allam, kontroversi karena pertobatannya memunculkan standar ganda yang mematikan. “Saya sungguh merasa kecewa bahwa mereka menganggap pembaptisan seorang Muslim ke Kristianitas sebagai sebuah provokasi, dan citra seorang Paus yang membaptis seorang Muslim harus membuat hal ini menjadi lebih buruk,” demikian Allam.

“Ini seolah-olah ibarat seseorang yang melihat bahwa pembaptisan seorang Muslim sebagai sesuatu yang memalukan sebegitu rupa sehingga mereka menganggapnya bahwa jika saya dibaptis di sebuah paroki yang jauh, jauh dari masyarakat, berarti bahwa itu lebih baik supaya orang-orang tidak tahu mengenainya. Saya bangga sebagai orang yang bertobat kepada Katolisisme dan menerima pembaptisan itu secara meriah dan diketahui publik.”

Magdi Allam mengatakan bahwa di Eropa sudah ada ribuan orang yang bertobat kepada Islam dan “tidak ada seorang pun yang mempermasalahkan hal ini. Tak seorang pun yang diperbolehkan untuk mengkritisi hal ini, atau mengancam mereka, tetapi jika hanya seorang saja Muslim yang bertobat kepada agama Kristen, tiba-tiba saja dia dijatuhi hukuman mati karena penghojatan. Ini yang terjadi saat ini di Eropa—bukan di Arab Saudi. Jika kita di Eropa saja tidak membela kebebasan beragama, termasuk hak seorang Muslim untuk bertobat ke agama Kristen atau iman kepercayaan lainnya, maka saya bisa mengatakan bahwa kita telah kehilangan perjuangan kita demi peradaban dan kebebasan.”

Islam ModeratAllam menjadi contoh yang unik untuk melihat konflik Islam-Kristen. Di satu pihak, dia dikenal sampai belum lama ini sebagai suara dari dalam Islam yang menyuarakan moderasi. Di lain pihak, sekarang dia meminta perlindungan karena merasa diancam oleh kaum Muslim yang marah atas pilihannya menjadi seroang Katolik.

"Saya yakin ada Islam moderat, bahwa ada kaum Muslim yang mendukung hukum yang menjamin koeksistensi,” demikan Allam. “Orang tidak secara otomatis merupakan produk dari dogma-dogma imannya; mereka bukan seperti buah dari sebuah pohon. Dalam kenyataan, orang itu sangat kompleks. Setiap individu bersifat khas, memiliki hubungan yang khas dan tertentu dengan agamanya yang bisa saja dangkal atau dalam.”

“Kita harus membedakan pribadi dan agama,” demikian Allam. “Islam adalah sebuah agama yang selalu bersifat plural karena ia memiliki dalam dirinya sejumlah besar jiwa-jiwa. Tetapi sebagai agama, ia tidak pernah menjadi pluralistik, tidak pernah menjadi demokratis.” Dia mengatakan “perang bersifat internal bagi Islam. .... Cukuplah untuk menganggap bahwa tiga atau empat penerus Muhammd dibunuh oleh Islam karena jalan mereka bertentangan dengan jalan yang dianggap sebagai jalan Islam, cara mereka menjalankan kekuasaan.”

Tetapi apakah Islam ditakdirkan untuk mengulangi hal ini di masa depan? Dapatkah dia berubah?“Saya tidak ingin membatasi Penyelenggaraan Ilahi, tetapi sebagai seorang Muslim selama 56 tahun, saya tidak menjadi yakin akan kemungkinan adanya perubahan internal dalam Islam, bahwa agama ini bakal akan menundukkan dirinya sepenuhnya pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang menurut pertimbangan saya bersifat tidak mengalienasikan dan tidak terbantahkan.” Harapan yang terbaik, demian Allam, adalah koeksistensi.

Karena pertobatan ini Allam sekarang harus menghadapi satu konsekuensi penting: Kemarahan dari mereka yang selama ini mendukung pandangan-pandangannya mengenai ekstrimisme Islam yang juga khawatir karena pembaptisan ini justru akan menghasut kaum Islam ekstrem untuk menyerang orang-orang Kristiani.

Alam menjawab hal ini dengan mengatakan bahwa sikap semacam ini didasarkan pada salah pamam. “Kita harus membebaskan diri kita dari asumsi-asumsi yang lazim bahwa kekerasan yang dilancarkan kaum ekstremis dan teroris adalah reaktif, yakni tindakan yang tergantung pada provokasi,” demikian Allam. Allam mengatakan bahwa serangan tanggal 11 September atas menara kembar di Amerika Serikat mengkarakterisasi terorisme Islamis sebagai “agresif” daripda sekadar defensif. Osama Bin Laden bertindak atau beraksi tanpa ada provokasi.

“Itu adalah tindakan perang, tindakan agresi melawan Amerika Serikat,” demikian Allam. “Dewasa ini, orang-orang Kristiani di Timur Tengah, di negara-negara Islam, di Iraq, telah dibantai. Mereka mengalami penganiayaan di Mesir, Algeria, Sudan, dan Lebanon. Semua ini terjadi karena mereka diprovokasi oleh Sri Paus. Mereka membunuh orang Kristen karena mereka menganggap penggunaan kekerasan sebagai tindakan yang sah (legitim) melawan semua orang yang tidak sepaham dengan mereka.”

Daripada bersikap reaktif terhadap berbagai peristiwa yang terjadi, para teroris justru menyerang tempat-tempat yang mereka kehendaki dan kemudian mencari alasan pembenar atas tindakan-tindakan mereka tersebut.“Mereka memanipulasi kejadian dengan mengatakan: ‘Ini adalah kesalahan Sri Pus, ini karena kesalahan Magdi Allam,’ dan karena hal ini, kita dapat bertindak dalam cara tertentu. Tetapi sebenarnya mereka sudah melakukannya: sejak tahun 1945, sekitar 10 juta orang ditelantarkan di Timur Tengah. Di negara-negara di pantai bagian selatan Mediterania, terdapat 1 juta orang Yahudi pada waktu itu; sekarang hanya ada sekitar 1000 orang. Semua ini terjadi karena realitas ketidaktoleranan dan kekerasan melawan semua orang yang bukan Islam.”Osama Bin Laden mengirim sebuah pesan berbahaya dan mengancam yang menyebut Sri Paus beberapa hari sebelum hari raya Paskah. Apakah pesan yang kebetulan ini membuat pertobatan Magdi Allam terlihat sebagai bagian dari sebuah perang salib?

Allam menolak bahkan untuk menimbang pertanyaan ini.‘Bin Laden adalah pimpinan ideologis dari jaringan teroris Islam seluruh dunia,” demikian Allam. “Kita berbicara mengenai sebuah kejahatan, orang yang paling diburu di dunia, sosok yang telah membunuh ribuan orang, sosok yang membenarkan pembunuhan tanpa pandang bulu atas orang-orang yang tidak tunduk pada kekuasaannya. Kita tidak dalam cara apapun membenarkan orang semacam ini dan menimbang dia dalam negosiasi-negosiasi. Sri Paus tidak memaklumkan sebuah perang salib.”

Bagi Allam, pembaptisan tersebut memiliki makna yang cukup berbeda mengenai Sri Paus Benediktus. Mengenai hal ini, Allam mengatakan, “Dia telah meletakkan iman dan akal budi melebihi berbagai pertimbangan diplomatik dan politik.” Allam kemudian melanjutkan, “Saya percaya Sri Paus dalam konteks ini telah menunjukkan dirinya sendiri sebagai seorang Paus besar karena dia memposisikan dirinya sendiri di atas berbagai kepentingan.”

Diterjemahkan dari Laporan Jurnalistik EDWARD PENTIN seorang koresponden REGISTER) Register Edisi 6-12 April 2008
Diposkan oleh Bagaikan Roti Diremah di
03:26

No comments:

Post a Comment